Tuesday, May 17, 2005

Kota DepokDaerah Penyangga yang Mencari Jati Diri

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/17/metro/1744878.htm Selasa, 17 Mei 2005

TANGGAL 27 April ini Kota Depok, Jawa Barat, genap berusia enam tahun, terhitung sejak disahkannya Depok sebagai kotamadya, setelah sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Perubahan itu disahkan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 yang mengubah Kota Administratif Depok menjadi Kotamadya/Kota Depok. Berkaitan dengan peningkatan status tersebut, maka terjadi pula penambahan wilayah dari sebelumnya hanya tiga kecamatan-yaitu Beji, Pancoran Mas, dan Sukmajaya-setelah berubah status menjadi kotamadya, Depok mendapat tambahan tiga kecamatan baru, yakni Limo, Cimanggis, dan Sawangan.
Pemberian status otonomi ini mampu mempercepat perubahan sosial dan ekonomi daerah penyangga di selatan Jakarta ini. Pertumbuhannya di masa depan akan semakin menarik dengan dimulainya era partisipasi masyarakat langsung dalam pemilihan kepala daerah.
Jika kita tengok sejarahnya, Kota Depok mulai terbuka sejak dibangunnya Perumnas Depok I, II, dan Timur pada tahun 1970-an. Dengan dibangunnya prasarana transportasi jalur kereta, minat para penglaju untuk bermukim di Kota Depok semakin meningkat sehingga kota ini dijuluki sebagai dormitory city, yakni kota yang penduduknya beraktivitas di luar kota dan hanya kembali ke kota tersebut untuk istirahat di malam hari.
Permukiman pun terus bertumbuhan, dari yang ditawarkan para pengembang swasta seperti Pesona Depok Estate, Pesona Khayangan, Bukit Novo, maupun permukiman-permukiman dari instansi pemerintah, seperti Kompleks Deppen Cimanggis, Kopassus, Karyawan Pertamina, dan lain-lain.
Banyaknya perumahan yang dibangun di Kota Depok membuat jumlah penduduk melesat dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, sekitar 4 persen per tahun. Dengan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk, geliat pertumbuhan ekonomi pun meningkat. Maka, di sepanjang Jalan Margonda tumbuh pusat-pusat perdagangan dan jasa serta pertokoan. Dan tentu saja terjadi pula pertambahan para pedagang informal.
Kota Depok saat ini sangat berkembang, terutama terkonsentrasi di pusat kota. Ide penyebaran pusat kegiatan sudah diadopsi dalam rencana tata ruang sehingga diharapkan terjadi penyebaran beban kegiatan dan sebagai pemacu pertumbuhan wilayah. Namun, upaya tersebut tampaknya belum menampakkan hasil yang berarti. Pertumbuhan pembangunan skala besar kecenderungannya masih terpusat di sekitar Jalan Margonda.
Beberapa isu seputar transportasi tampaknya akan menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi para calon wali kota Depok di mana penyakit kronis permasalahan transportasi menyangkut keruwetan dan kemacetan telah terjadi di jalan-jalan yang menghubungkan Depok I dengan Depok II, serta jalan utama yang menghubungkan Depok dengan Jakarta.
Masih tingginya tingkat ketergantungan kegiatan ekonomi masyarakat Kota Depok pada peluang kesempatan kerja di Jakarta tentu berpotensi negatif bagi perkembangan ekonomi kota. Hal ini juga terlihat dari minimnya pengembangan dan penciptaan lapangan kerja bagi angkatan kerja potensial di Kota Depok.
Di satu sisi, dinamika pembangunan fisik di Kota Depok bergerak dengan pesat, padahal peruntukan daerah itu adalah untuk kawasan resapan air. Suatu upaya yang memerlukan kreatifitas dan kearifan pemkot untuk dapat menyeimbangkan antara keinginan pertumbuhan dan visinya yang menginginkan Kota Depok sebagai kota yang ramah bagi permukiman, pendidikan, perdagangan, serta jasa dengan kemampuan daya dukung alamiah dan ketersediaan sumber daya.
BANYAK potensi yang dimiliki oleh Kota Depok, yang membedakannya dengan daerah penyangga DKI Jakarta lainnya, seperti Bekasi dan Tangerang. Di antara yang paling menonjol adalah adanya keberadaan Universitas Indonesia yang dibangun pada tahun 1987 di atas tanah seluas 300 hektar. Eksistensi sebuah perguruan tinggi bertaraf nasional di Kota Depok ini sebenarnya merupakan sebuah keuntungan, baik dalam hal pengembangan sumber daya manusia juga memberi efek multiplier ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi perkembangan Kota Depok.
Terlebih lagi institusi kependidikan ini ditunjang oleh keberadaan kampus-kampus lain seperti Universitas Gunadarma yang terletak di Jalan Margonda dan Kelapa Dua. Kampus sebagai penggerak pembangunan tampaknya perlu diberdayakan dan Kota Depok seharusnya dapat menjadi cermin bagi kolaborasi yang baik antara peningkatan kampus dan pembangunan kota. Dengan demikian, pemanfaatannya lebih dari sekadar sebagai tempat olahraga dan rekreasi bagi masyarakat Depok dan sekitarnya.
Pemerintah Kota Depok tidak boleh merasa puas hanya dengan menarik retribusi dari maraknya tempat kos dan kontrakan para mahasiswa, melainkan harus dapat menjalarkan proses intelektualisasi yang berlangsung di dalam kampus kepada masyarakat lokal maupun pendatang di luar kampus dan mengguritakannya ke seluruh pelosok Kota Depok.
Kota Depok dapat tumbuh dengan tidak mengikuti jejak keliru kota-kota lain yang latah membangun kota semata-mata berlandaskan pada aspek pembangunan konsumtif yang dicirikan dengan tumbuh maraknya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan. Kota Depok dapat diarahkan sebagai learning city, yaitu kota tempat pembelajaran yang terus-menerus berlangsung hingga mencapai satu jati diri sebagai civil society yang dicirikan dengan masyarakat yang berpengetahuan dan arif dalam mengelola lingkungan kota dan sumber daya yang dimilikinya.
Hayati Sari Hasibuan (Staf Pengajar Teknik Planologi Universitas Trisakti)