Tuesday, March 01, 2005

Kuntowijoyo, Budayawan Profetik

Pikiran Rakyat Selasa, 01 Maret 2005
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/01/0802.htm

Kuntowijoyo, Budayawan Profetik

Oleh IDI SUBANDY IBRAHIM

Bagi yang merindukan
Tuhan menyediakan
Kereta cahaya ke langit
Kata sudah membujuk
Bumi untuk menanti


(Kuntowijoyo, "Perjalanan ke Langit", 1974)

KUNTOWIJOYO --intelektual Muslim dengan sejumlah julukan, sejarawan, budayawan, sastrawan, cerpenis, Guru Besar Ilmu Sejarah UGM-- telah pergi. Kita kehilangan. Di tengah hutan lebat problematika bangsa yang mengungkung, satu-persatu tokoh terbaik bangsa meninggalkan kita. Sekalipun sakit telah cukup lama dideritanya --pada awal 1992, virus meningo encephalitis yang menyerang otak telah melumpuhkan sebagian memorinya. Tapi, kepergian budayawan dan intelektual Muslim yang rendah hati ini untuk selama-lamanya, pada Selasa sore, 22 Februari 2005, tetap dirasa menyentak oleh orang-orang yang mengenal dan mengaguminya.

Bait-bait yang dinukil dari salah satu kumpulan sajaknya, Isyarat (1976), di awal tulisan ini seakan bergema kembali. Adakah Mas Kunto --begitulah banyak orang biasa memanggilnya-- telah naik kereta cahaya (nur) untuk menggapai langit Ilahi? Sementara bumi sudah menantinya. "Adakah duka juga dikuburkan/ Atau kembali jadi merpati/ Sesudah kausembayangkan?" Begitulah bunyi bait sajaknya yang lain.

Ada kebiasaan yang menonjol dalam masyarakat Indonesia. Dan, ini pernah dikhawatirkan oleh Prof. Benedict Anderson, bahwa di Indonesia orang sering mudah melupakan sang tokoh ketika sudah meninggal. Nama sang tokoh mungkin hanya tertulis di prasasti atau terpampang sebagai nama jalan. Bahkan kalaupun masyarakat umum dan generasi mudanya tahu nama sang tokoh, mereka kebanyakan tidak tahu buah pikirannya. Inilah fenomena yang menyedihkan di negeri ini.

Apakah buah pikiran Kuntowijoyo yang cemerlang dalam bidang sejarah, sastra, seni, agama, dan khususnya budaya itu juga akan mengalami "nasib" yang sama? Apakah "warisan" yang ditinggalkan oleh sejarawan yang lahir di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta pada 18 September 1943 --yang dikenal sebagai pemikir ilmu sosial profetik-- ini kepada kita?

Sosok teladan

Kita tahu sudah banyak karya dan penghargaan yang diraih Kuntowijoyo semasa hidupnya yang produktif, baik di dalam maupun luar negeri. Buku-bukunya menghiasi kepustakaan sejarah, budaya, dan khazanah Islam Indonesia. Bukunya, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991), misalnya, mungkin bisa dijadikan semacam "buku pegangan wajib" bagi para pemikir dan aktivis gerakan Islam di Indonesia.

Tapi, mungkin yang pertama-pertama, dari semua itu dia adalah sosok teladan. Kenangan terakhir --kalau boleh dibilang begitu-- saya dengan almarhum mengingatkan kekaguman akan keteladanannya sebagai guru yang membimbing. Nama besarnya tidak mengalahkan sikap rendah hatinya bahkan bagi anak muda yang baru belajar. Orang-orang yang kenal dekat dengan Kunto tentu tahu betul akan hal ini.

Sosoknya sebagai guru dan pembimbing yang tawadlu' membuat generasi seusia kami serasa menemukan kembali sosok panutan. Kesederhanaan hidupnya dan kebersahajaan tutur katanya menjadikannya cahaya di tengah tawaran gemerlap hidup dan arogansi kekuasaan politik, ekonomi, dan sebagian kalangan agamawan dan ilmuwan yang mungkin tak jarang mengklaim diri sebagai pendefinisi dan pemilik kebenaran.

Saya teringat kenangan kecil, pada pertengahan 2004, ketika saya meminta Mas Kunto memberi masukan dan pengantar untuk rencana penerbitan buku saya tentang Soedjatmoko. Saat itu---di tengah kondisi kesehatannya yang belum sepenuhnya membaik---Mas Kunto tetap dengan ketajaman pembacaannya sebagai seorang ilmuwan memberikan masukan yang amat berarti untuk rancangan buku saya yang mungkin tidak ada apa-apanya bagi ilmuwan sekaliber Beliau. Melalui putra sulungnya --Mas Punang Amaripuja-- sastrawan penulis Dilarang Mencintai Bunga-bunga ini memberikan catatan yang sangat berarti buat buku saya, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: Ruang Publik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko (2004). Bahkan tulisannya "Kebudayaan Indonesia Kontemporer" yang mencoba memosisikan pemikiran Soedjatmoko menjadi pengantar buku saya tersebut. Di situlah di antaranya terlihat kebesaran jiwanya dan sekaligus kerendahan hatinya sebagai pembimbing.

Butir-butir pemikiran

Selain sosok keteladanan itu, kita juga diwariskan dengan sejumlah karya Kunto yang penuh inspirasi, yang tampaknya lahir dari kontemplasi dan renungannya yang mendalam akan problem kebudayaan yang tidak hanya dihadapi oleh bangsanya, tapi juga oleh umat manusia. Sebagai penulis, Kunto bisa dibilang komunikator yang "jenius" dan istimewa. Ini terlihat dari kepiawaiannya meracik buah pikirannya dalam bentuk puisi, drama, novel, dan cerita pendek yang memungkinkan gagasannya mencapai khalayak yang lebih luas dan digemari. Tapi, sebagai ilmuwan, karya nonfiksinya juga tidak kalah menarik. Dia telah menghasilkan serangkaian artikel, esai, dan makalah yang biasanya kritis dan inspiratif bagi pembacanya. Sejumlah buku telah dihasilkannya baik berupa bunga rampai maupun karya utuh yang menunjukkan produktivitasnya dalam berkarya.

Tulisan yang sangat terbatas ini ingin mengangkat kembali beberapa pemikiran Kuntowijoyo yang penting dan amat mewarnai kepedulian intelektualnya. Pergumulan intelektualnya yang intens dengan kenyataan yang dihadapi bangsanya dan empatinya yang dalam atas masalah yang disorotnya, serta kesadarannya sebagai seorang Muslim yang bertakwa, menjadikan gagasan-gagasan Kunto tetap aktual hingga saat ini dan mungkin juga di masa nanti. Ada sejumlah butir pemikirannya yang mungkin hingga kini tetap relevan.

Pertama, krisis kebudayaan. Dalam sejumlah kesempatan Kunto sering berbicara tentang krisis kebudayaan, yang menurutnya sebagai kesenjangan antara kata dengan perbuatan, atau antara kesadaran dengan tindakan. Krisis itu menyangkut dimensi yang dalam, yakni kesadaran manusia. Krisis kebudayaan politik dan ekonomi di Indonesia sebagian bisa dijelaskan dengan logika ini. Korupsi terjadi karena adanya kesenjangan antara kesadaran dengan tindakan seorang pejabat. Begitupun agresivitas terjadi karena ada kesenjangan antara kesadaran dan perilaku para pelakunya.

Menurut Kunto, kita perlu mengembalikan kesadaran manusia. Sebuah gerakan kebudayaan yang mengolah dimensi kedalaman manusia (transendensi, pendidikan moral, pengembangan estetika) dalam jangka panjang diyakini akan dapat memulihkan kembali kesadaran itu.

Krisis kultural, menurut Kunto, mungkin juga sebagai akibat dari masuknya teknologi dalam kebudayaan. Ketika membahas masalah ini, Kunto mengutip Jacques Ellul (1954), yang menyebut masyarakat modern dengan technological society, yaitu masyarakat yang di dalamnya terdapat dominasi teknik. Dia mengkhawatirkan kalau-kalau teknologi membuat persekongkolan baru antara bisnis besar dan ahli teknik, atau antara modal dan ilmu. Kekaguman yang berlebihan pada teknologi dikhawatirkannya akan mengakibatkan kita gagal mengintegrasikan teknologi ke dalam ideologi sehingga teknologi yang mestinya menjadi rahmat bisa berubah menjadi laknat.

Selain itu, Kunto juga melihat krisis kultural dalam bentuk politisasi dan komersialisasi budaya. Politisasi dan komersialisasi berakibat buruk pada masyarakat. Komersialisasi budaya, misalnya, menimbulkan pembodohan dan dehumanisasi. Kapan kesadaran kritis masyarakat akan muncul untuk membangun masyarakat madani kalau setiap hari hanya disuguhi media massa porno, televisi konyol yang penuh gosip, takhayul dan kekerasan, musik cengeng, atau goyang pantat penuh berahi, yang membuat masyarakat kecanduan tontonan yang dekaden?

Kedua, krisis keteladanan. Kunto juga berkali-kali mengingatkan bahwa bangsa kita sedang mengalami krisis keteladanan. Yakni, sirnanya tokoh-tokoh anutan yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam berperilaku dan bertindak. Di tengah arus pragmatisme kebudayaan, ikhlas telah digantikan oleh sikap pamrih, altruisme digantikan oleh individualisme. Orang kehilangan teladan karena yang dahulu pahlawan sekarang bisa berubah menjadi pengkhianat; sebaliknya, yang dahulu pengkhianat dapat berubah menjadi pahlawan. Yang dahulu pejuang bisa tetap tidak punya apa-apa: tidak kekuasaan, tidak kekayaan, tidak juga kehormatan.

Pada saat yang sama, kita juga sedang mengalami krisis nilai, pengalaman, dan kebijakan. Semua yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan pribadi akan dianggap sia-sia. Kejujuran seorang pejabat dapat dianggap sebagai kebodohan. Kesederhanaan dianggap sebagai kemewahan yang tak terjangkau. Orang senang hidup dalam alam ilusi dan gaya hidup serba-simbol. Untuk sukses dalam kehidupan dan "budaya serba-instan" ini, perjuangan dan kerja keras tidak ada artinya.

Sementara gelombang pascamodernisme juga ditandai budaya baru, seperti informasi canggih, internet, telefon genggam, bisnis multinasional, fashion internasional, makanan organis, pengetahuan global, kompetisi antarbangsa, budaya metropolitan, budaya mal, dan budaya dapur internasional. Tetapi di tengah yang serbainternasional itu, di Indonesia juga terdapat pengangguran, petani, desa, kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Di tengah potret dunia kehidupan yang kontradiktif ini, Kunto lantas mengingatkan pentingnya pendidikan nilai atau moral. Salah satu aspek pendidikan moral ialah perlunya identifikasi diri dalam mengembangkan konsep baik dan buruk. Tapi dengan adanya anomi (tidak adanya norma, kekacauan nilai, perasaan tidak percaya pada nilai) selama tiga dasawarsa di bawah Orde Baru kita telah kehilangan begitu banyak teladan (exemplary center). "Generasi muda sudah menjadi yatim piatu, menghadapi dunia sendirian, tanpa contoh dari orang tua. Seolah-olah dia dilemparkan ke dunia asing. Jangan heran kalau mereka menjadi pemberang yang agresif.... Mereka tidak sadar bahwa perilaku mereka merugikan orang lain," demikian Kuntowijoyo.

Inilah yang sungguh-sungguh dalam krisis. Tidak ada anutan, tidak ada teladan, kita kehilangan exemplary center. "Setiap agama punya nabi, yang menjadi contoh konkret dari agama itu, tetapi Pancasila tidak. Selalu ada kontradiksi antara moralitas personal dan moralitas publik," demikian Kunto. Padahal saat ini yang kita butuhkan adalah contoh keteladanan, sebuah exemplary center, tempat orang dapat berkaca, tempat orang dapat mengukur dirinya.

Ketiga, keluar dari alam pikiran mitos. Kuntowijoyo berkali-kali mengingatkan perlunya demitologisasi alam pikiran kita dalam memandang sejarah dan realitas masa lalu dan realitas kontemporer. Menurut Kunto, mereka yang hidup dalam mitos tak akan bisa menangani realitas. Akar permasalahannya terletak dalam cara berpikir kita sebagai bangsa. "Kesadaran kita ada pada masa kini, tetapi bawah-sadar kita ada pada masa lampau. Sebagai bangsa kita menderita penyakit schizophrenia, jiwa yang terbelah. Kalau masih demikian, negara rasional tidak akan terbentuk," demikian Kuntowijoyo menandaskan dalam Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002).

Sebagai sejarawan, Kunto menyadari betul bahwa sejarah akan dan harus bersikap kritis kepada mitos dan gejala mitologisasi. Analisis sejarah yang rasional dan faktual terhadap mitos dan mitologisasi memungkinkan sejarawan tidak menjadi partisan dan partisipan, tetapi mampu melihat dari suatu jarak. Di tangan Kunto, tokoh-tokoh sejarah tetap menjadi manusia biasa, jauh dari dimitoskan sebagai makhluk supernatural.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah di UGM, pada 21 Juli 2001, Kuntowijyo tampak mempertajam apa yang sudah dikemukakannya pada 1985, dalam karyanya Dinamika Sejarah Umat Islam. Dalam pidato bertajuk "Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi, Ilmu" --yang dibacakan oleh istrinya, Dra. Hj. Susilaningsih, M.A.-- tersebut, Kunto kembali menyitir gagasan mitos dari Roland Barthes dalam karyanya yang terkenal, Mythologies (1989), yang tetap aktual hingga kini.

Dalam kesempatan itu, Kunto menyebutkan bahwa di Indonesia hidup mitos lama, mitos baru, dan mitos kontemporer. Mitos lama, kebanyakan berupa legitimasi, misalnya "raja adalah titisan dewa". Penjajah menambah mitos "pribumi yang malas". Mitos baru, biasanya berupa mitos politik, misalnya "gemah ripah loh jinawi karto raharjo", "Indonesia dijajah 350 tahun", "Pancasila Sakti", dan lain-lain. Mitos kontemporer, kebanyakan bersifat komersial, seperti "keperkasaan pria", "kecantikan wanita", "kelangsingan atau kebugaran tubuh". Komersialisasi mitos kontemporer kebanyakan terjadi setelah muncul budaya massa dengan dukungan iklan dan media massa, khususnya via televisi.

Kunto pernah mengatakan bahwa ia beruntung karena lahir di tengah-tengah keluarga yang secara tak sadar mengajarinya sejarah, sehingga sejarah sudah mendarah-daging pada dirinya. Karenanya, "Saya belajar untuk percaya pada sejarah dan menolak mitos, tentang kausalitas sejarah, dan tentang mobilitas sosial," katanya.

Keempat, demokrasi kebudayaan. Kunto juga banyak berbicara tentang pentingnya demokrasi budaya, di samping demokrasi ekonomi dan politik. Dia mengkhawatirkan mengenai gejala "refeodalisasi" atau "feodalisme baru" yang menyebabkan simbol-simbol kebudayaan sering dipakai sebagai sarana dominasi dari status yang lebih tinggi dengan sanksi mitos. Dia juga mencemaskan kemungkinan akan tertutupnya sarana mobilitas sosial. Bukankah kini sekolah-sekolah kian mahal dan eksklusif sehingga semakin menutup peluang bagi kalangan masyarakat bawah. Di sini komersialisasi pendidikan sama berbahayanya dengan indoktrinasi dalam pendidikan. Komersialisasi dunia pendidikan berakibat pembodohan dan kemiskinan. Ini, menurut Kunto, menunjukkan bahwa ada proses "refeodalisasi" dan demokrasi kebudayaan mengalami kemunduran.

Demokrasi kebudayaan justru berusaha supaya setiap warga negara punya akses yang sama terhadap sumber-sumber kebudayaan, seperti akses terhadap pendidikan. Kunto mengingatkan, kebudayaan itu bersifat unik dan partikular, sementara agama, teknologi, ilmu, dan olah raga itu bersifar universal. Karena itu, demokrasi kebudayaan harus hati-hati jangan sampai demokrasi menyebabkan hilangnya kepribadian. Jangan sampai demokrasi berarti anarki.

Kelima, Rekayasa atau Strategi Kebudayaan. Kuntowijoyo pernah mengatakan, "Rekayasa adalah doa kolektif yang tak diucapkan tetapi dikerjakan." Budaya sebagai determinan pembaruan politik memerlukan rekayasa sistem pengetahuan. Persoalannya, bagaimana rekayasa itu tidak dirasakan sebagai "rekayasa". Untuk itu, menurut Kunto, cara-cara budaya perlu ditempuh. Artinya, para pembaru politik harus bergerak lewat perubahan sistem simbol, tidak melalui kekuasaan politik. Berpolitik harus berdasarkan kesadaran, tidak berdasarkan paksaan. Paksaan adalah cara yang tidak-berbudaya. Dalam gerakan budaya menuju sistem politik yang rasional itulah kaum intelektual dapat berperan.

Budaya ialah simbol dan nilai yang memengaruhi perilaku. Maka, menurut Kunto, ibarat laut, riak, gelombang, dan pasang-surutnya yang dipengaruhi oleh angin, bulan, dan matahari itu adalah politik. Adapun air, substansinya, adalah budaya. "Strategi pengembangan budaya artinya merekayasa air, bukan pasang-surutnya. Merekayasa substansi, bukan tandanya. Merekayasa akar-penyebab, bukan gejalanya," demikian ujar Kunto. Tak heran kalau Kunto tidak hanya berbicara tentang masalah politik sehari-hari yang tampak di permukaan saja, tetapi ia justru menukik ke arus yang lebih dalam, yang diam-diam bekerja di bawah permukaan, yaitu masalah budaya.

Bagaimanapun, menurut Kunto, rekayasa kebudayaan berbeda dengan rekayasa teknologi, atau sosial, atau politik. Perbedaan itu terletak pada sifat kebudayaan yang tak dapat dipaksakan. "Karena itu," menurut Kunto dalam Identitas Politik Umat Islam (1997), "rekayasa kebudayaan hanya mungkin melalui 'rekayasa kesadaran' akan kepribadian bangsa. Simbol hanya dapat 'direkayasa' dengan simbol." Dengan kata lain, kebudayaan itu mempunyai dinamikanya sendiri.

Untuk itu, dalam pandangan Kunto, kebanggaan terhadap bangsa, budaya, dan produk nasional perlu disosialisasikan sejak dini. Pendidikan di tingkat bawah perlu padat dengan muatan lokal. "Rekayasa" budaya harus terasa wajar, tidak dipaksakan. "Rekayasa kebudayaan dibenarkan, asal menghasilkan warga negara yang kritis, sedangkan rekayasa yang hanya menghasilkan sikap budaya afirmatif harus ditolak," demikian tulis Kunto.

Keenam, peran kaum intelektual. Peran yang harus dimainkan intelektual dalam masyarakatnya adalah salah satu isu yang menjadi kepedulian Kunto. Secara intelektual, kontribusinya di sini cukup jelas. Ia tidak bosan berbicara tentang gerakan intelektual dan peran intelektual Muslim. "Intelektual," demikian Kunto mengingatkan, "menggunakan ilmunya sebagai kritik sosial. Maka loyalitas tertinggi intelektual ialah pada masa depan bangsa, tidak pada elite (kekuasaan, bisnis) dan massa (budaya, voting behavior)."

Dalam pandangan Kunto, kaum intelektual Muslim paling tidak harus bisa berperan dalam dua hal: Pertama, dalam hal manajemen yang rasional; dan Kedua, membantu umat dalam perang gagasan, intellectual war. "Kita sedang menghadapi 'perang', ghazwul fikr atau intellectual aggression. 'Musuh' kita ialah materialisme dan sekularisme dunia modern. Tugas intelektual Muslim ialah berjihad intelektual," demikian Kunto pernah menganjurkan. Menurutnya, seorang intelektual adalah pewaris Nabi. Karenanya seorang intelektual Muslim tidak boleh berpangku tangan, sementara dunia akan tenggelam.

Ketujuh, visi profetik. Mungkin gagasan Kunto yang paling terkenal adalah pemikirannya tentang Ilmu Sosial Profetik. Menurut keyakinan Kunto, krisis ilmu sosial sekarang ini tidak bisa diatasi hanya dengan penolakan-penolakan tetapi dengan mengubah komitmennya, yaitu pada masyarakat yang konkret, dan kaidahnya, yaitu profetisme.

Demikianlah dalam pandangan Kunto, Ilmu Sosial Profetik harus punya perhatian utama. Perhatian utama itu ialah emansipasi umat, yang konkret dan historis, dengan mengaitkannya dengan problem-problem aktual yang dihadapi umat. Problem sekarang ialah bagaimana mengantarkan umat dalam transformasi menuju masyarakat industrial, masyarakat sipil, ekonomi yang tanpa-eksploitasi, masyarakat demokratis, negara rasional, dan budaya yang manusiawi.

Sebagai sejarawan yang berusaha melihat ke depan, dan sebagai pribadi yang beriman kepada Al-Quran, Kunto percaya kepada ilmu dan bukan kepada politik. Ini terlihat pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar, Kunto menggunakan semboyan Knowledge is Power yang berasal dari Michel Foucault. Dia lantas menyitir QS Al-Mujadalah, ayat 11, yang menyebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. "Sebaliknya," menurut Kunto, "tidak satu pun ayat menyebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang berkuasa."

Pernyataannya di hari yang bersejarah bagi kariernya itu menunjukkan komitmennya kepada ilmu, bukan kepada kekuasaan. Ilmulah yang bisa mengangkat derajat makhluk di hadapan Khaliknya. Di sinilah tampak sekali posisinya sebagai seorang budayawan profetik. Sebagaimana pernah dikatakannya, "Kebudayaan Islam adalah budaya profetik yang unsurnya ada tiga (Q.S. Ali Imran, ayat 110), yaitu humanisasi (amar makruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu'minuna billah)."

Dalam keyakinan Kunto, ilmu, seni, sastra, dan politik harus membawa misi profetik (tugas kenabian) ini untuk mengemansipasi manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk Ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia. Itulah sebabnya dia memandang kebudayaan sebagai fitrah manusia.

Ketika berbicara tentang Visi Ilmu Sosial Profetik, Kunto menyitir Q.S. Al-Shaffat, ayat 6, "Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan bintang-bintang." Di situ jelas disebutkan bahwa langit telah dihias dengan bintang-bintang. Kunto mengaitkan ayat ini dengan fenomena agama dan budaya. Menurutnya, langit itu ibarat agama dan hiasan berupa bintang itu adalah kebudayaan.

Kuntowijoyo kini telah pergi. Kepergiannya serasa begitu cepat. Kita tidak tahu, setelah obituari ditulis, setelah semerbak bunga ditaburkan di pusaranya, apakah namanya, buah pikirannya akan dikenang oleh generasi sesudahnya? Masih banyak buah pikirannya yang perlu diapresiasi dan dijadikan "PR" buat kita semua, khususnya generasi muda. Sebuah syair Arab seakan berkelebat, "Al-mautu jahrun habibi wal habib". Kematian adalah jembatan antara Si Pencinta dengan Kekasih. Adakah kini dia telah melalui jembatan itu? Lantas apakah dia telah berhasil mencapai nur, dalam menapaki perjalanan singkat kehidupan ini untuk menggapai langit Ilahiah? Kita semua tertunduk dan hanya bisa berucap: Selamat jalan Pak Kunto! Semoga amal ibadahmu diterima Allah SWT dan kesalahanmu diampuni-Nya. Amin.***

Penulis, Dosen luar biasa Jurusan Manajemen Komunikasi, Fikom Unisba, editor dua buku karya Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (2001) dan Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home