Sunday, March 06, 2005

Proses Konservasi di Kuil Cheng Hoon Teng, Malaka

Kompas, Minggu, 06 Maret 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/06/desain/1592732.htm

Oleh: Dimas Wihardyanto Mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada, peserta Kolokium dan Bengkel Seni Rekabentuk Bandar Nusantara di Johor.

CHENG Hoon Teng adalah nama kuil China yang berdiri di tengah-tengah daerah Bukit China, kawasan ruko Cina tertua di Malaka. Kawasan ini merupakan tempat berlabuhnya armada China pertama yang membawa misi perdagangan serta eksodus masyarakat China dari daerah Fujian dan Guangdong ke Semenanjung Malaya.

CHENG Hoon Teng didirikan koloni orang China pertama yang menetap di Malaka pada tahun 1645. Kuil ini merupakan tempat peribadatan dan juga menjadi ruang publik bagi orang China zaman itu karena tempatnya strategis, di tengah-tengah kawasan ruko lama. Setelah seharian berdagang, mereka mengakhiri harinya dengan pergi ke kuil untuk berdoa. Di sini mereka bertemu teman-teman mereka pada suasana yang santai.

Secara fisik Kuil Cheng Hoon Teng memiliki beberapa perbedaan dengan kuil China lain, antara lain dari bentukan ruang luar dan bentukan ruang dalam.

Bentukan luar bangunan merupakan terjemahan dari negeri kayangan yang diperlihatkan dengan banyaknya elemen negeri kayangan, seperti awan hijau dan naga. Elemen-elemen itu menunjukkan mereka ingin selalu merasa dekat dengan kampung halamannya yang mereka anggap dekat dengan dunia dewa.

Namun, secara mendasar, yang membedakan Kuil Cheng Hoon Teng dari yang lain adalah atapnya. Atap kuil ini mempunyai falsafah "sampan" sebagai penghormatan dan simbol mengenang keberanian kapitan dan orang China yang membawa mereka menuju tanah harapan baru, Malaka.

Sedangkan pada ruang dalam, ruang utama kuil ini terbagi menjadi tiga altar yang menyatu tanpa dibatasi sekat. Bentuk ruang dalam itu diperuntukkan bagi semua masyarakat China yang pada masa itu menganut ajaran Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme, yang ketiganya mereka integrasikan dan perlakukan sebagai ritual hidup keseharian mereka yang mengatur hubungan mereka dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan lingkungan sekitar.

Hingga kini Kuil Cheng Hoon Teng masih dipergunakan masyarakat China setempat. Untuk pengelolaannya didirikan yayasan nonkomersial yang berisikan orang China setempat yang sangat peduli dengan keberadaan Kuil Cheng Hoon Teng.

Konservasi partisipatif

Kini kuil tersebut sedang mengalami proses konservasi dan revitalisasi. Tidak seperti proses konservasi dan revitalisasi yang umumnya berangkat dari modal atau dana renovasi yang banyak jumlahnya, konservasi dan revitalisasi kuil ini berangkat dari rasa memiliki dan ingin menjaga kuil tersebut. Bahkan modal proyek ini hanya 1/20 dari total anggaran. Sedangkan untuk tenaga kerja mereka lebih mengutamakan penduduk setempat, terutama generasi mudanya.

Proses konservasi ini menawarkan sesuatu yang lebih kepada masyarakat, yaitu suatu kesempatan untuk merasakan arti gotong royong yang merupakan cara masyarakat lama Cina berinteraksi sosial. Selain itu mereka juga mendapat pengetahuan dan falsafah mengenai Kuil Cheng Hoon Teng, termasuk cara membangunnya.

Pengetahuan itu mereka dapatkan langsung dengan praktik serta dibimbing arsitek khusus yang didatangkan langsung dari China. Menurut mereka, kini mereka jauh lebih mengerti mengenai cara hidup orang China sebagaimana banyak dituangkan dalam simbol di dalam kuil, seperti sepasang patung berbentuk macan di depan pintu masuk laki-laki dan perempuan.

Sepasang patung itu menggambarkan kesinambungan hidup sepasang manusia di mana yang laki-laki disimbolkan membawa pedang yang artinya harus bekerja keras mencari nafkah bagi keluarga, sedangkan yang perempuan membawa anak yang berarti wanita sebagai pemelihara rumah tangga. Sepasang patung itu juga menunjukkan di dunia ini semua hal adalah berpasangan.

Generasi muda setempat juga banyak mengerti mengenai tradisi China, khususnya yang berhubungan dengan proses pembangunan kuil. Misalnya elemen hias dari porselen berupa mangkuk yang dipotong kecil-kecil serta dirakit sesuai warna dan motif elemen hias tersebut. Meskipun dipandang tidak efektif dan memakan waktu lama, namun hal tersebut sangat efektif untuk menggali kembali keterampilan yang berhubungan dengan tradisi setempat yang kini sudah mulai hilang seiring perubahan zaman.

Perhatian pemerintah

Pola pelaksanaan konservasi semacam itu yang tengah dilakukan di Kuil Cheng Hoon Teng menyita perhatian pemerintah setempat. Pemerintah Malaka, dalam hal ini Majelis Bandar Raya Malaka Bersejarah, memerhatikan respons masyarakat setempat yang ingin mempertahankan kawasan Bukit China sebagai kawasan konservasi. Dan kini Malaka bersama Pulau Penang tengah diupayakan untuk dapat masuk ke dalam program 100 situs paling terancam di dunia yang tengah digalakkan oleh World Monuments Fund.

Konservasi Kuil Cheng Hoon Teng memperlihatkan, konservasi bukan proses yang dapat berjalan dalam waktu singkat. Adanya keinginan masyarakat adalah aset yang sangat berharga untuk tidak diperhatikan. Pemerintah tanggap terhadap aspirasi setempat dan tidak mengeluarkan kebijakan pembangunan tanpa memerhatikan lingkungan setempat, termasuk nilai historis yang sebenarnya menjadi keunikan dalam mengangkat nilai ekonomis kawasan setempat.

Tidak ada kata terlambat untuk melakukan konservasi. Seperti kata Aa Gym, mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal-hal kecil, dan mulailah dari sekarang.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home