Sunday, March 06, 2005

"Hantu" Itu Bernama RUTR

Kompas, Minggu, 06 Maret 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/06/utama/1601866.htm

MENCARI Desa Ulee Pata di Kecamatan Jaya Baru, Aceh Besar, pada malam hari bukanlah pekerjaan mudah. Malam terasa sangat pekat, sunyi mencekam dan sejauh mata memandang hanyalah hamparan kosong dengan bayang-bayang onggokan puing. Hampir semua bangunan di wilayah itu telah rata dengan tanah akibat hantaman tsunami, 26 Desember 2004 lalu.

Gerimis meningkahi malam diselingi gemuruh guntur. Namun, ketika mobil memasuki wilayah Kecamatan Jaya Baru, gerimis hilang seperti ditelan malam. Mobil sempat terperosok dan salah arah dua kali sehingga harus berbalik di jalan sempit yang hampir sebagian besar permukaan aspalnya terkelupas.

Patokan kami hanyalah seberkas sinar yang kelihatan seperti noktah dari kejauhan. Sinar itu berasal dari sebuah neon bertenaga diesel yang dipasang di atas bangunan kayu dengan pelataran yang paling bersih dibandingkan sekitarnya. Sebelum tsunami datang, bangunan yang kini berfungsi sebagai mushala sekaligus tempat berteduh bagi 30 laki-laki itu adalah Meunasah Ulee Pata.

"Silakan-silakan…. Di sini terang kan. Generator ini sumbangan Mbak Wardah dan teman-temannya dari UPC (Konsorsium Miskin Kota-Red)," sambut Syaiful (47), satu dari tujuh laki-laki yang sedang duduk-duduk di tempat itu. Katanya, beberapa hari lalu, juga ada jurnalis dari NHK Jepang berkunjung ke tempat itu untuk merekam gambar-gambar.

Angin laut yang kencang membuat suara gemertuk dari bendera merah putih yang dikibarkan di depan meunasah. Deburan ombak terdengar sayup menerpa bibir pantai. Di beberapa titik terlihat kepulan asap dari tumpukan puing-puing.

"Di sini kami semua duda," lanjut Syaiful dengan suara keras. Ia tidak bergurau. Bencana itu menyisakan hanya 176 dari 1.200 warga desa itu, termasuk Syaiful dengan hanya satu dari delapan anaknya, istri, dan lebih dari 60 anggota keluarganya.

"Semua yang kami miliki sudah habis, kecuali tanah ini. Ini hidup kami, karena itu kami akan tetap di sini," kata Syaiful yang diamini Alaidin (35), warga lainnya.

Percakapan melebar. Mulai dari cerita duka, lalu bergerak ke keinginan kuat untuk melanjutkan hidup dan bertahan di tempat itu, dugaan bahwa bekas permukiman mereka diincar investor yang akan mengubahnya menjadi kawasan resor mewah, sampai ke intimidasi halus agar mereka tidak lagi kembali ke tempat itu.

"Banyak isu di sini. Ada yang bilang banyak penyakitlah, banyak setanlah. Bahkan pejabat menakut-nakuti agar kami tidak kembali karena alasan keamanan yang tidak terjamin. Saat pertama kembali ke sini, kami memang mendengar seperti bunyi tembakan," kata Syaiful.

"Bagi kami, kalaupun ada suara-suara gaib, itu adalah saudara-saudara kami juga. Kenapa harus takut?" timpal Alaidin.

"Tidak ada suara-suara seperti itu," sergah Syaiful. Bagi mereka, hantu bukanlah roh yang bergentayangan, tetapi master plan itulah.

"Mau ada tsunami sehari tiga kali, kami tidak takut. Kematian sudah ada yang mengatur. Bencana kemarin adalah takdir yang harus kami terima. Bagi kami, waktu DOM (daerah operasi militer) lebih berat karena semua serba dibatasi," ujar Syaiful.

SYAIFUL dan kawan-kawannya sudah tahu tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR, master plan) baru bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disodorkan Jakarta oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Pekerjaan Umum.

Berdasarkan master plan itu, kawasan pantai akan dibagi dalam sembilan zona, yang menurut kesimpulan mereka, akan menjauhkan mereka dari laut. Padahal, warga yang tersisa adalah nelayan dan petambak.

"Tata ruang seperti itu akan membunuh kami dua kali," tandas Syaiful.

Bagi dia dan kawan-kawannya, partisipasi warga, yang katanya diusung dalam pembuatan master plan, caranya bukan seperti itu. Dia masih melanjutkan, "Kalau mau mendengarkan suara kami, datang dan duduk bersama kami di sini. Lihat situasi yang sebenarnya di sini. Bukan kami yang harus ke kota."

Syaiful berkisah, saat tsunami pertama datang pada tahun 1819, menurut moyangnya, warga yang tersisa hanya lima orang, Mereka bertahan di kawasan yang dulunya bernama Cakra Donya dan terus berkembang.

Itu sebabnya Syaiful dan kawan-kawan tak keberatan bila warga dari desa lain datang ke Desa Ulee Pata untuk membangun barak dan seterusnya hidup di sana bersama mereka. Akan tetapi, mereka menolak keras relokasi atau apa pun istilahnya, yang intinya memindahkan mereka dari tempat itu.

Dengan sikap seperti itu, mereka siap menerima konsekuensinya. Toh bagi mereka, alam telah menyediakan segala sesuatunya.

"Kami makan dengan ikan, kepiting, udang segar yang sangat mudah didapat. Kami sudah 15 hari di sini. Hidup kami lebih sehat daripada orang kota dan tidak kekurangan. Lihatlah, bayam itu kami lempar begitu saja, tanpa pupuk, tanpa air. Sekarang sudah tumbuh besar. Tanah di sini subur sekali," kata Syaiful seraya menyorotkan senternya ke arah tanaman bayam di samping meunasah. Ia juga menunjukkan tanaman ketela pohon yang mulai bertunas.

Hidayat, lelaki paling muda di tempat itu, mengaku heran dengan ulah pemerintah yang hanya berbicara soal proyek pascatsunami atas nama kesejahteraan untuk warga Aceh.

Katanya, "Kalau mau membantu dengan ikhlas, cukup bantu kami dengan sarana untuk menangkap ikan."

"Kami akan segera pulih. Insya Allah, dua tahun lagi," tegas Syaiful. Laki-laki yang semula memiliki 15 tambak dengan luas sekitar enam hektar itu memandang ke laut lepas. Suaranya bergetar.

Malam kian tua. Dari meunasah itu bayangan rumah yang kembali dibangun dari kayu-kayu bekas terlihat semakin jelas, sejelas optimisme mereka untuk melanjutkan hidup dan berkehidupan. (PEPIH NUGRAHA/ MARIA HARTININGSIH)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home