Wednesday, May 26, 2010

Menampilkan Data Vector AutoCAD di Internet

Tuesday, May 17, 2005

Kota DepokDaerah Penyangga yang Mencari Jati Diri

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/17/metro/1744878.htm Selasa, 17 Mei 2005

TANGGAL 27 April ini Kota Depok, Jawa Barat, genap berusia enam tahun, terhitung sejak disahkannya Depok sebagai kotamadya, setelah sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Perubahan itu disahkan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 yang mengubah Kota Administratif Depok menjadi Kotamadya/Kota Depok. Berkaitan dengan peningkatan status tersebut, maka terjadi pula penambahan wilayah dari sebelumnya hanya tiga kecamatan-yaitu Beji, Pancoran Mas, dan Sukmajaya-setelah berubah status menjadi kotamadya, Depok mendapat tambahan tiga kecamatan baru, yakni Limo, Cimanggis, dan Sawangan.
Pemberian status otonomi ini mampu mempercepat perubahan sosial dan ekonomi daerah penyangga di selatan Jakarta ini. Pertumbuhannya di masa depan akan semakin menarik dengan dimulainya era partisipasi masyarakat langsung dalam pemilihan kepala daerah.
Jika kita tengok sejarahnya, Kota Depok mulai terbuka sejak dibangunnya Perumnas Depok I, II, dan Timur pada tahun 1970-an. Dengan dibangunnya prasarana transportasi jalur kereta, minat para penglaju untuk bermukim di Kota Depok semakin meningkat sehingga kota ini dijuluki sebagai dormitory city, yakni kota yang penduduknya beraktivitas di luar kota dan hanya kembali ke kota tersebut untuk istirahat di malam hari.
Permukiman pun terus bertumbuhan, dari yang ditawarkan para pengembang swasta seperti Pesona Depok Estate, Pesona Khayangan, Bukit Novo, maupun permukiman-permukiman dari instansi pemerintah, seperti Kompleks Deppen Cimanggis, Kopassus, Karyawan Pertamina, dan lain-lain.
Banyaknya perumahan yang dibangun di Kota Depok membuat jumlah penduduk melesat dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, sekitar 4 persen per tahun. Dengan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk, geliat pertumbuhan ekonomi pun meningkat. Maka, di sepanjang Jalan Margonda tumbuh pusat-pusat perdagangan dan jasa serta pertokoan. Dan tentu saja terjadi pula pertambahan para pedagang informal.
Kota Depok saat ini sangat berkembang, terutama terkonsentrasi di pusat kota. Ide penyebaran pusat kegiatan sudah diadopsi dalam rencana tata ruang sehingga diharapkan terjadi penyebaran beban kegiatan dan sebagai pemacu pertumbuhan wilayah. Namun, upaya tersebut tampaknya belum menampakkan hasil yang berarti. Pertumbuhan pembangunan skala besar kecenderungannya masih terpusat di sekitar Jalan Margonda.
Beberapa isu seputar transportasi tampaknya akan menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi para calon wali kota Depok di mana penyakit kronis permasalahan transportasi menyangkut keruwetan dan kemacetan telah terjadi di jalan-jalan yang menghubungkan Depok I dengan Depok II, serta jalan utama yang menghubungkan Depok dengan Jakarta.
Masih tingginya tingkat ketergantungan kegiatan ekonomi masyarakat Kota Depok pada peluang kesempatan kerja di Jakarta tentu berpotensi negatif bagi perkembangan ekonomi kota. Hal ini juga terlihat dari minimnya pengembangan dan penciptaan lapangan kerja bagi angkatan kerja potensial di Kota Depok.
Di satu sisi, dinamika pembangunan fisik di Kota Depok bergerak dengan pesat, padahal peruntukan daerah itu adalah untuk kawasan resapan air. Suatu upaya yang memerlukan kreatifitas dan kearifan pemkot untuk dapat menyeimbangkan antara keinginan pertumbuhan dan visinya yang menginginkan Kota Depok sebagai kota yang ramah bagi permukiman, pendidikan, perdagangan, serta jasa dengan kemampuan daya dukung alamiah dan ketersediaan sumber daya.
BANYAK potensi yang dimiliki oleh Kota Depok, yang membedakannya dengan daerah penyangga DKI Jakarta lainnya, seperti Bekasi dan Tangerang. Di antara yang paling menonjol adalah adanya keberadaan Universitas Indonesia yang dibangun pada tahun 1987 di atas tanah seluas 300 hektar. Eksistensi sebuah perguruan tinggi bertaraf nasional di Kota Depok ini sebenarnya merupakan sebuah keuntungan, baik dalam hal pengembangan sumber daya manusia juga memberi efek multiplier ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi perkembangan Kota Depok.
Terlebih lagi institusi kependidikan ini ditunjang oleh keberadaan kampus-kampus lain seperti Universitas Gunadarma yang terletak di Jalan Margonda dan Kelapa Dua. Kampus sebagai penggerak pembangunan tampaknya perlu diberdayakan dan Kota Depok seharusnya dapat menjadi cermin bagi kolaborasi yang baik antara peningkatan kampus dan pembangunan kota. Dengan demikian, pemanfaatannya lebih dari sekadar sebagai tempat olahraga dan rekreasi bagi masyarakat Depok dan sekitarnya.
Pemerintah Kota Depok tidak boleh merasa puas hanya dengan menarik retribusi dari maraknya tempat kos dan kontrakan para mahasiswa, melainkan harus dapat menjalarkan proses intelektualisasi yang berlangsung di dalam kampus kepada masyarakat lokal maupun pendatang di luar kampus dan mengguritakannya ke seluruh pelosok Kota Depok.
Kota Depok dapat tumbuh dengan tidak mengikuti jejak keliru kota-kota lain yang latah membangun kota semata-mata berlandaskan pada aspek pembangunan konsumtif yang dicirikan dengan tumbuh maraknya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan. Kota Depok dapat diarahkan sebagai learning city, yaitu kota tempat pembelajaran yang terus-menerus berlangsung hingga mencapai satu jati diri sebagai civil society yang dicirikan dengan masyarakat yang berpengetahuan dan arif dalam mengelola lingkungan kota dan sumber daya yang dimilikinya.
Hayati Sari Hasibuan (Staf Pengajar Teknik Planologi Universitas Trisakti)

Monday, March 07, 2005

Mengkhawatirkan, Kondisi Situs Budaya Melayu Terbesar Abad Ke-19

Kompas, Senin, 07 Maret 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/07/humaniora/1603560.htm

Tanjung Pinang, Kompas - Sisa-sisa bangunan dan benda-benda peninggalan puncak kejayaan budaya Melayu di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dalam kondisi mengkhawatirkan. Tinggalan budaya berupa bangunan bersejarah dan kitab-kitab manuskrip kuno yang berasal dari masa keemasan Kerajaan Riau Lingga banyak yang rusak karena kurang terurus.

Potensi budaya Pulau Penyengat sangat besar. Di sinilah dulu lahir kaum intelektual pemerhati politik dan budaya, khususnya bagi bangsa Melayu. "Semuanya surut saat penjajah menguasai negeri dan ternyata kemudian Pemerintah Indonesia pun tak mampu memberikan perhatian selayaknya," kata Ketua Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu (PMKM) Riau Raja Malik Hasrizal, Jumat (4/3).

Selama puluhan tahun terakhir, masyarakat Pulau Penyengat sendirilah yang terus berusaha melestarikan tinggalan budaya yang tersisa. Di pulau ini tersebar reruntuhan istana sultan, gedung kantor istana, makam raja-raja dan para pujangga, serta sisa struktur saluran air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Menurut Raja Malik, tahun 1880-an di pulau ini didirikan Rusydiah Club, yaitu perkumpulan cendekiawan dari seluruh Riau. Mereka menjadi pemantau pergerakan politik dan juga menghasilkan karya-karya sastra maupun jenis kebudayaan lainnya. Salah satu pujangga yang terkenal adalah Raja Ali Haji dengan karya Gurindam XII.

Tahun 1911, para cendekiawan dan pejabat kerajaan tercerai-berai meninggalkan Penyengat. Mereka tidak mau tunduk kepada penjajah dan memilih pergi. Dua tahun kemudian Belanda menghapus Kerajaan Riau Lingga dari segala urusan administrasi pemerintahannya. Sejak itu, Pulau Penyengat kian terasing dan budaya Melayu pun putus perkembangannya.

Ketika kemerdekaan berhasil diraih, pemerintahan republik yang baru terbentuk khilaf memulihkan kembali Pulau Penyengat, sibuk dengan segala urusan, termasuk mempertahankan kedaulatan. Penyengat pun tetap terhapus dari program pembangunan.

Yang tersisa

Saat ini yang terawat adalah yang masih sering dikunjungi peziarah, seperti kompleks makam Engku Putri Raja Hamidah dan Masjid Raya Sultan Riau Penyengat. Namun, istana kerajaan hanya tinggal puing. Yang tampak hanyalah fondasi dan sedikit alur tembok keliling.

Meski sebagian masih berdiri kokoh, rumah Engku Putri Raja Hamidah sama sekali tidak terawat. Satu-satunya jenis tinggalan yang masih dapat dikatakan terselamatkan utuh adalah sejumlah manuskrip kuno Melayu yang saat ini tersimpan di gedung PMKM.

Raja Malik mewakili masyarakat setempat mengungkapkan perlunya uluran pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. "Jangan sampai budaya kita musnah padahal penerusnya sebenarnya masih ada," katanya.

Dalam waktu dekat, yang paling perlu dilakukan adalah pembersihan dan perawatan bangunan kuno. Revitalisasi Pulau Penyengat, khususnya dalam menghidupkan kembali seni-seni melayu kuno, termasuk kerajinan tradisional, juga patut menjadi agenda utama pemerintah daerah setempat. (nel)

Sunday, March 06, 2005

Proses Konservasi di Kuil Cheng Hoon Teng, Malaka

Kompas, Minggu, 06 Maret 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/06/desain/1592732.htm

Oleh: Dimas Wihardyanto Mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada, peserta Kolokium dan Bengkel Seni Rekabentuk Bandar Nusantara di Johor.

CHENG Hoon Teng adalah nama kuil China yang berdiri di tengah-tengah daerah Bukit China, kawasan ruko Cina tertua di Malaka. Kawasan ini merupakan tempat berlabuhnya armada China pertama yang membawa misi perdagangan serta eksodus masyarakat China dari daerah Fujian dan Guangdong ke Semenanjung Malaya.

CHENG Hoon Teng didirikan koloni orang China pertama yang menetap di Malaka pada tahun 1645. Kuil ini merupakan tempat peribadatan dan juga menjadi ruang publik bagi orang China zaman itu karena tempatnya strategis, di tengah-tengah kawasan ruko lama. Setelah seharian berdagang, mereka mengakhiri harinya dengan pergi ke kuil untuk berdoa. Di sini mereka bertemu teman-teman mereka pada suasana yang santai.

Secara fisik Kuil Cheng Hoon Teng memiliki beberapa perbedaan dengan kuil China lain, antara lain dari bentukan ruang luar dan bentukan ruang dalam.

Bentukan luar bangunan merupakan terjemahan dari negeri kayangan yang diperlihatkan dengan banyaknya elemen negeri kayangan, seperti awan hijau dan naga. Elemen-elemen itu menunjukkan mereka ingin selalu merasa dekat dengan kampung halamannya yang mereka anggap dekat dengan dunia dewa.

Namun, secara mendasar, yang membedakan Kuil Cheng Hoon Teng dari yang lain adalah atapnya. Atap kuil ini mempunyai falsafah "sampan" sebagai penghormatan dan simbol mengenang keberanian kapitan dan orang China yang membawa mereka menuju tanah harapan baru, Malaka.

Sedangkan pada ruang dalam, ruang utama kuil ini terbagi menjadi tiga altar yang menyatu tanpa dibatasi sekat. Bentuk ruang dalam itu diperuntukkan bagi semua masyarakat China yang pada masa itu menganut ajaran Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme, yang ketiganya mereka integrasikan dan perlakukan sebagai ritual hidup keseharian mereka yang mengatur hubungan mereka dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan lingkungan sekitar.

Hingga kini Kuil Cheng Hoon Teng masih dipergunakan masyarakat China setempat. Untuk pengelolaannya didirikan yayasan nonkomersial yang berisikan orang China setempat yang sangat peduli dengan keberadaan Kuil Cheng Hoon Teng.

Konservasi partisipatif

Kini kuil tersebut sedang mengalami proses konservasi dan revitalisasi. Tidak seperti proses konservasi dan revitalisasi yang umumnya berangkat dari modal atau dana renovasi yang banyak jumlahnya, konservasi dan revitalisasi kuil ini berangkat dari rasa memiliki dan ingin menjaga kuil tersebut. Bahkan modal proyek ini hanya 1/20 dari total anggaran. Sedangkan untuk tenaga kerja mereka lebih mengutamakan penduduk setempat, terutama generasi mudanya.

Proses konservasi ini menawarkan sesuatu yang lebih kepada masyarakat, yaitu suatu kesempatan untuk merasakan arti gotong royong yang merupakan cara masyarakat lama Cina berinteraksi sosial. Selain itu mereka juga mendapat pengetahuan dan falsafah mengenai Kuil Cheng Hoon Teng, termasuk cara membangunnya.

Pengetahuan itu mereka dapatkan langsung dengan praktik serta dibimbing arsitek khusus yang didatangkan langsung dari China. Menurut mereka, kini mereka jauh lebih mengerti mengenai cara hidup orang China sebagaimana banyak dituangkan dalam simbol di dalam kuil, seperti sepasang patung berbentuk macan di depan pintu masuk laki-laki dan perempuan.

Sepasang patung itu menggambarkan kesinambungan hidup sepasang manusia di mana yang laki-laki disimbolkan membawa pedang yang artinya harus bekerja keras mencari nafkah bagi keluarga, sedangkan yang perempuan membawa anak yang berarti wanita sebagai pemelihara rumah tangga. Sepasang patung itu juga menunjukkan di dunia ini semua hal adalah berpasangan.

Generasi muda setempat juga banyak mengerti mengenai tradisi China, khususnya yang berhubungan dengan proses pembangunan kuil. Misalnya elemen hias dari porselen berupa mangkuk yang dipotong kecil-kecil serta dirakit sesuai warna dan motif elemen hias tersebut. Meskipun dipandang tidak efektif dan memakan waktu lama, namun hal tersebut sangat efektif untuk menggali kembali keterampilan yang berhubungan dengan tradisi setempat yang kini sudah mulai hilang seiring perubahan zaman.

Perhatian pemerintah

Pola pelaksanaan konservasi semacam itu yang tengah dilakukan di Kuil Cheng Hoon Teng menyita perhatian pemerintah setempat. Pemerintah Malaka, dalam hal ini Majelis Bandar Raya Malaka Bersejarah, memerhatikan respons masyarakat setempat yang ingin mempertahankan kawasan Bukit China sebagai kawasan konservasi. Dan kini Malaka bersama Pulau Penang tengah diupayakan untuk dapat masuk ke dalam program 100 situs paling terancam di dunia yang tengah digalakkan oleh World Monuments Fund.

Konservasi Kuil Cheng Hoon Teng memperlihatkan, konservasi bukan proses yang dapat berjalan dalam waktu singkat. Adanya keinginan masyarakat adalah aset yang sangat berharga untuk tidak diperhatikan. Pemerintah tanggap terhadap aspirasi setempat dan tidak mengeluarkan kebijakan pembangunan tanpa memerhatikan lingkungan setempat, termasuk nilai historis yang sebenarnya menjadi keunikan dalam mengangkat nilai ekonomis kawasan setempat.

Tidak ada kata terlambat untuk melakukan konservasi. Seperti kata Aa Gym, mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal-hal kecil, dan mulailah dari sekarang.

"Hantu" Itu Bernama RUTR

Kompas, Minggu, 06 Maret 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/06/utama/1601866.htm

MENCARI Desa Ulee Pata di Kecamatan Jaya Baru, Aceh Besar, pada malam hari bukanlah pekerjaan mudah. Malam terasa sangat pekat, sunyi mencekam dan sejauh mata memandang hanyalah hamparan kosong dengan bayang-bayang onggokan puing. Hampir semua bangunan di wilayah itu telah rata dengan tanah akibat hantaman tsunami, 26 Desember 2004 lalu.

Gerimis meningkahi malam diselingi gemuruh guntur. Namun, ketika mobil memasuki wilayah Kecamatan Jaya Baru, gerimis hilang seperti ditelan malam. Mobil sempat terperosok dan salah arah dua kali sehingga harus berbalik di jalan sempit yang hampir sebagian besar permukaan aspalnya terkelupas.

Patokan kami hanyalah seberkas sinar yang kelihatan seperti noktah dari kejauhan. Sinar itu berasal dari sebuah neon bertenaga diesel yang dipasang di atas bangunan kayu dengan pelataran yang paling bersih dibandingkan sekitarnya. Sebelum tsunami datang, bangunan yang kini berfungsi sebagai mushala sekaligus tempat berteduh bagi 30 laki-laki itu adalah Meunasah Ulee Pata.

"Silakan-silakan…. Di sini terang kan. Generator ini sumbangan Mbak Wardah dan teman-temannya dari UPC (Konsorsium Miskin Kota-Red)," sambut Syaiful (47), satu dari tujuh laki-laki yang sedang duduk-duduk di tempat itu. Katanya, beberapa hari lalu, juga ada jurnalis dari NHK Jepang berkunjung ke tempat itu untuk merekam gambar-gambar.

Angin laut yang kencang membuat suara gemertuk dari bendera merah putih yang dikibarkan di depan meunasah. Deburan ombak terdengar sayup menerpa bibir pantai. Di beberapa titik terlihat kepulan asap dari tumpukan puing-puing.

"Di sini kami semua duda," lanjut Syaiful dengan suara keras. Ia tidak bergurau. Bencana itu menyisakan hanya 176 dari 1.200 warga desa itu, termasuk Syaiful dengan hanya satu dari delapan anaknya, istri, dan lebih dari 60 anggota keluarganya.

"Semua yang kami miliki sudah habis, kecuali tanah ini. Ini hidup kami, karena itu kami akan tetap di sini," kata Syaiful yang diamini Alaidin (35), warga lainnya.

Percakapan melebar. Mulai dari cerita duka, lalu bergerak ke keinginan kuat untuk melanjutkan hidup dan bertahan di tempat itu, dugaan bahwa bekas permukiman mereka diincar investor yang akan mengubahnya menjadi kawasan resor mewah, sampai ke intimidasi halus agar mereka tidak lagi kembali ke tempat itu.

"Banyak isu di sini. Ada yang bilang banyak penyakitlah, banyak setanlah. Bahkan pejabat menakut-nakuti agar kami tidak kembali karena alasan keamanan yang tidak terjamin. Saat pertama kembali ke sini, kami memang mendengar seperti bunyi tembakan," kata Syaiful.

"Bagi kami, kalaupun ada suara-suara gaib, itu adalah saudara-saudara kami juga. Kenapa harus takut?" timpal Alaidin.

"Tidak ada suara-suara seperti itu," sergah Syaiful. Bagi mereka, hantu bukanlah roh yang bergentayangan, tetapi master plan itulah.

"Mau ada tsunami sehari tiga kali, kami tidak takut. Kematian sudah ada yang mengatur. Bencana kemarin adalah takdir yang harus kami terima. Bagi kami, waktu DOM (daerah operasi militer) lebih berat karena semua serba dibatasi," ujar Syaiful.

SYAIFUL dan kawan-kawannya sudah tahu tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR, master plan) baru bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disodorkan Jakarta oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Pekerjaan Umum.

Berdasarkan master plan itu, kawasan pantai akan dibagi dalam sembilan zona, yang menurut kesimpulan mereka, akan menjauhkan mereka dari laut. Padahal, warga yang tersisa adalah nelayan dan petambak.

"Tata ruang seperti itu akan membunuh kami dua kali," tandas Syaiful.

Bagi dia dan kawan-kawannya, partisipasi warga, yang katanya diusung dalam pembuatan master plan, caranya bukan seperti itu. Dia masih melanjutkan, "Kalau mau mendengarkan suara kami, datang dan duduk bersama kami di sini. Lihat situasi yang sebenarnya di sini. Bukan kami yang harus ke kota."

Syaiful berkisah, saat tsunami pertama datang pada tahun 1819, menurut moyangnya, warga yang tersisa hanya lima orang, Mereka bertahan di kawasan yang dulunya bernama Cakra Donya dan terus berkembang.

Itu sebabnya Syaiful dan kawan-kawan tak keberatan bila warga dari desa lain datang ke Desa Ulee Pata untuk membangun barak dan seterusnya hidup di sana bersama mereka. Akan tetapi, mereka menolak keras relokasi atau apa pun istilahnya, yang intinya memindahkan mereka dari tempat itu.

Dengan sikap seperti itu, mereka siap menerima konsekuensinya. Toh bagi mereka, alam telah menyediakan segala sesuatunya.

"Kami makan dengan ikan, kepiting, udang segar yang sangat mudah didapat. Kami sudah 15 hari di sini. Hidup kami lebih sehat daripada orang kota dan tidak kekurangan. Lihatlah, bayam itu kami lempar begitu saja, tanpa pupuk, tanpa air. Sekarang sudah tumbuh besar. Tanah di sini subur sekali," kata Syaiful seraya menyorotkan senternya ke arah tanaman bayam di samping meunasah. Ia juga menunjukkan tanaman ketela pohon yang mulai bertunas.

Hidayat, lelaki paling muda di tempat itu, mengaku heran dengan ulah pemerintah yang hanya berbicara soal proyek pascatsunami atas nama kesejahteraan untuk warga Aceh.

Katanya, "Kalau mau membantu dengan ikhlas, cukup bantu kami dengan sarana untuk menangkap ikan."

"Kami akan segera pulih. Insya Allah, dua tahun lagi," tegas Syaiful. Laki-laki yang semula memiliki 15 tambak dengan luas sekitar enam hektar itu memandang ke laut lepas. Suaranya bergetar.

Malam kian tua. Dari meunasah itu bayangan rumah yang kembali dibangun dari kayu-kayu bekas terlihat semakin jelas, sejelas optimisme mereka untuk melanjutkan hidup dan berkehidupan. (PEPIH NUGRAHA/ MARIA HARTININGSIH)

Wednesday, March 02, 2005

Fenomena Kota Sakit

Kompas, Selasa, 15 Februari 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/15/metro/1553721.htm


Yayat Supriatna Staf Pengajar Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta

JAKARTA seperti tak habis dirundung masalah. Setelah banjir pada pertengahan Januari, kini Jakarta dan beberapa kota lainnya diserang wabah demam berdarah dengue. Wabah ini seakan terulang setiap tahun, dan sepertinya kemampuan warga dan pengelola kota untuk memutus mata rantai perkembangan sumber penyakit ini sudah tidak optimal lagi. Kota seakan sudah berubah menjadi sarang berkembangnya berbagai penyakit yang mengancam jiwa para penghuninya.

Kita seakan lupa bahwa korban jiwa berupa kematian dan kerugian harta benda di Jakarta serta kota lainnya akibat wabah penyakit semakin meningkat dibandingkan kematian akibat kecelakaan lalu lintas, kriminal, atau bencana banjir dan kebakaran. Wabah berbagai penyakit akibat kelalaian atau ketidakmampuan menjaga kebersihan lingkungan seakan menjadi ancaman yang menghantui semua strata sosial yang memilih tinggal di Jakarta.

Benarkah Jakarta sudah berubah menjadi kota yang sakit dan bagaimana mewujudkannya sebagai kota yang sehat? Secara sederhana, kota yang sehat adalah kota yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman sehingga mampu menghasilkan kehidupan kota yang berkualitas dari berbagai aspek teknis, sosial, ekonomi, dan budayanya. Kualitas kehidupan yang optimal akan menghasilkan tindakan kreatif dan inovatif dari penghuninya untuk menambah daya tarik kota. Dengan demikian, wajah kota mencerminkan kreasi dari perilaku warganya. Perhatikanlah kota-kota yang menjadi pusat-pusat kegiatan internasional. Daya tarik kotanya dan kehidupan warganya menjadi nilai tambah pilihan warga dunia untuk mendatanginya.

Sehatkah posisi Jakarta saat ini? Jika posisinya diperbandingkan dengan kota-kota lain di kawasan Asia Timur, sulit diprediksikan Jakarta akan meraih rating terbaik. Dilihat dari fenomena pertumbuhan kota, keadaannya sudah semakin padat dan sesak. Kualitas lingkungannya semakin sulit terjaga. Buruknya kualitas lingkungan menjadikan kota ini mudah dijangkiti berbagai penyakit lingkungan dan sosial. Penyakit demam berdarah, diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), serta meningkatnya angka bunuh diri adalah cerminan buruknya kualitas lingkungan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan rendahnya rasa kepedulian warga terhadap pemeliharaan lingkungan akibat semakin padatnya tingkat permukiman dan buruknya sistem prasarana dan sarana kota serta layanan sosialnya.

Jika warga menderita sakit demam berdarah akibat semakin buruknya lingkungan kota, dapatkah dia menuntut gubernur? Belajar dari pengalaman class action warga dalam kasus banjir Jakarta 2002, sulit rasanya warga melalui pengadilan dapat menghukum gubernur. Bentuk tanggung jawab gubernur kepada warga melalui Pemerintah Provinsi DKI saat ini dilakukan dalam bentuk bantuan biaya pengobatan gratis untuk warga miskin, penyemprotan, penyuluhan, dan pembagian serbuk abate. Sementara bentuk perlindungan keselamatan jiwa dari ancaman sebaran penyakit tidak terjawab hingga saat ini. Kasus nyawa yang hilang dan rasa takut yang mencekam oleh gigitan nyamuk, jawabannya diserahkan kepada masing-masing pribadi.

JIKA nyamuk dianggap sama dengan manusia, seharusnya nyamuk dapat dianggap sebagai pelaku kriminal karena telah membunuh manusia. Pelaku kriminal harus dihukum, maka konsekuensi hukumnya nyamuk dapat langsung dibasmi atau dijatuhkannya sanksi hukum yang keras dan tegas bagi siapa saja warga Jakarta dan aparaturnya yang tidak menjaga kebersihan lingkungan.

Kebersihan lingkungan tidak terwujud mungkin karena sebagian jiwa warga kota banyak yang sakit akibat tekanan lingkungan. Kota yang padat dan semrawut akan menghasilkan jiwa warganya yang sakit. Jiwa yang sakit menghasilkan kelalaian, sifat malas, dan rasa tidak peduli terhadap sesama yang berdampak datangnya musibah penyakit bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya.

Wabah penyakit merupakan cermin kegagalan koordinasi manajemen pelayanan kesehatan masyarakat dan manajemen pemeliharaan lingkungan kota. Layanan kesehatan bertindak untuk kepentingan individu pasien, yaitu bagaimana menyembuhkan. Untuk mencegah penyakit pasien, sulit untuk sepenuhnya dilakukan karena terkait jenis penyakit, karakteristik sosial warga, dan kondisi lingkungannya. Sementara manajemen lingkungan kota lebih banyak sibuk dengan masalah teknis artifisial kota. Penataan kota hanya untuk "kosmetika" wajah kota dan dilakukan pada lingkungan tertentu saja. Sementara bagaimana membasmi jutaan jentik nyamuk yang sudah bersarang di lingkungan padat dan kumuh hanya sebatas wacana yang kemudian hilang seiring dengan pergantian musim dan berkurangnya jumlah pasien.

Tindakan nyata secara sungguh-sungguh hanya dilakukan jika telah mencapai kondisi kejadian luar biasa. Nyawa manusia yang terselamatkan terlambat dilakukan dan jumlah yang mati dihitung dengan statistik, untuk selanjutnya kepentingan perencanaan tindakan selanjutnya. Kota kembali kehilangan potensi sumber daya manusianya.

Kegagalan demi kegagalan program serta bertambahnya wabah penyakit tidak memberi banyak pelajaran bagaimana membangun suatu komunitas kota yang sehat dan bebas dari ancaman penyakit. Kematian demi kematian warga hanya dianggap sebagai urusan pribadi dan keluarga. Sumber daya manusia dan besarnya investasi yang telah ditanamkan untuk mengembangkannya hilang tidak terhitung. Siapakah yang harus bertanggung jawab untuk mencegah berlarutnya masalah ini.

Mengapa kita gagal meniru cara China dalam penanganan kasus penyakit SARS. Pemerintahnya memburu warga yang sakit untuk dirawat di rumah sakit khusus untuk mencegah penularan. Mereka sangat peduli, apakah kepedulian kita harus menunggu bencana besar lagi yang harus datang?

Tuesday, March 01, 2005

Revitalisasi Lapangan Sepak Bola Persija

Kompas, Selasa, 01 Maret 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/01/metro/1582159.htm

Nirwono Joga

DINAS Pertamanan DKI Jakarta tetap bersikukuh menggusur lapangan sepak bola Persija di Menteng, Jakarta Pusat, untuk diubah menjadi "taman kota" yang terasa naif dan menggelikan (Kompas, 23/2/2005).

Lapangan sepak bola Persija di Menteng merupakan salah satu lapangan sepak bola kebanggaan warga Jakarta dan paling bersejarah, baik dalam sejarah Kota Jakarta maupun persepakbolaan di Jakarta dan Indonesia.

Menilik dari sejarah, aset, dan potensi, lapangan sepak bola Persija yang telah berusia 84 tahun (1921) patut dikategorikan sebagai kawasan lanskap cagar budaya, dilindungi, dilestarikan, dan dikembangkan secara hati-hati.

Ibarat sebuah bangunan tua bersejarah yang diratakan untuk kemudian didirikan bangunan baru modern yang terasa hambar, perubahan fungsi lapangan sepak bola Persija menjadi "taman kota" sama sekali tak memiliki akar keterkaitan sejarah kota dan sejarah persepakbolaan yang panjang dan tak ternilai harganya.

Legenda sepak bola Belanda, Johan Cruyff, memelopori konsep tradium (trade and stadium) yang mengombinasikan (simbiosis mutualisme) konsep dagang untuk mendapatkan pemasukan dana pemeliharaan dan pengelolaan stadion sepak bola secara profesional. Konsep ini telah sukses dipraktikkan dalam pembangunan stadion-stadion sepak bola di Belanda, Inggris, Jerman, Italia, Perancis, dan Spanyol.

Perkembangan zaman menuntut multifungsi ruang publik yang perlu diakomodasi dengan berbagai program kegiatan yang dapat dipersiapkan menghidupkan lapangan sepak bola sepanjang hari. Pertandingan kompetisi reguler klub- klub sepak bola lokal yang didukung sekolah sepak bola anak-anak ataupun yang sekadar hobi (sewa) merupakan atraksi utama yang dapat dinikmati semua orang setiap saat. Di waktu- waktu khusus, lapangan sepak bola dapat menjadi ajang festival seni dan budaya, seperti Festival Menteng (konser musik, festival tari, festival rakyat Betawi), festival film layar tancap, shalat Id, hingga perayaan agustusan.

Konsep ramah lingkungan merupakan keharusan dalam mengembangkan lapangan sepak bola. Atraksi air mancur dan air sprinkler saat penyiraman lapangan sepak bola di pagi dan sore hari memberikan hiburan tersendiri. Malam hari lampu-lampu sorot menerangi kehidupan malam. Semua kebutuhan listrik diperoleh dari energi sel surya. Penempatan sumur-sumur resapan air di sudut-sudut lapangan dan sistem ekodrainase membantu penyerapan suplai air tanah ke dalam tanah sebanyak- banyaknya. Ruang-ruang bawah tanah didukung lereng rumput yang mendinginkan ruang, sirkulasi udara yang mengalir, termasuk dari basement dibuat cerobong-cerobong ventilator keluar (di luar sekaligus menjadi sculpture), dan cahaya alami untuk ruang di bawah bangku tribun stadion menembus glass block.

Sesuai pemberlakuan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang merencanakan kawasan-kawasan tertentu pada hari akhir pekan untuk dijadikan kawasan bebas kendaraan, maka Jalan HOS Cokroaminoto dapat dibangun kawasan pedestrian mal dengan membangun kawasan pedestrian selebar 3-6 meter untuk mendorong warga berjalan kaki melintasi kawasan yang dikembangkan menjadi kawasan perbelanjaan terbatas (galeri, kafe, museum, restoran). Halaman depan lapangan sepak bola disediakan taman fasilitas ruang makan terbuka yang mendukung kehidupan usaha telah berkembang di sini.

Di bawah lereng rumput terdapat kantor Sekretariat Persija yang dilengkapi Galeri dan Museum Persija (fungsi asrama dikeluarkan dari site untuk menekankan kepemilikan umum), kantor Kelurahan Menteng dan Koramil Menteng, kios- kios dari penghuni lama dan pedagang baru secara selektif (jenis usaha) berkoneksi langsung dengan basement. Di bawah lapangan sepak bola disediakan lahan parkir umum dengan kapasitas 300 kendaraan yang dapat memberikan pemasukan dana pemeliharaan lapangan, selain juga pemasukan yang diperoleh dari papan iklan raksasa yang secara selektif dipilih menampilkan gambar yang inspiratif bagi warga kota.

Sebagai identitas kawasan Menteng dipilih pohon menteng yang kini sangat langka ditemukan di kawasan ini. Taman Terapi (di area yang sekarang disebut Taman Kodok) mewadahi kebutuhan warga Menteng yang mayoritas lanjut usia. Bagi kalangan remaja tersedia taman atraktif yang dilengkapi dengan dinding panjat tebing yang menantang adrenalin. Sementara bagi anak-anak, keseluruhan kompleks merupakan wahana eksplorasi yang tiada habis-habisnya dijelajahi setiap saat.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selayaknya segera mengkaji ulang untuk mempertahankan lapangan sepak bola Persija di Menteng menjadi salah satu tonggak kebangkitan olahraga, khususnya persepakbolaan di Jakarta, serta pembangunan lapangan sepak bola berkualitas.

NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap

Kuntowijoyo, Budayawan Profetik

Pikiran Rakyat Selasa, 01 Maret 2005
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/01/0802.htm

Kuntowijoyo, Budayawan Profetik

Oleh IDI SUBANDY IBRAHIM

Bagi yang merindukan
Tuhan menyediakan
Kereta cahaya ke langit
Kata sudah membujuk
Bumi untuk menanti


(Kuntowijoyo, "Perjalanan ke Langit", 1974)

KUNTOWIJOYO --intelektual Muslim dengan sejumlah julukan, sejarawan, budayawan, sastrawan, cerpenis, Guru Besar Ilmu Sejarah UGM-- telah pergi. Kita kehilangan. Di tengah hutan lebat problematika bangsa yang mengungkung, satu-persatu tokoh terbaik bangsa meninggalkan kita. Sekalipun sakit telah cukup lama dideritanya --pada awal 1992, virus meningo encephalitis yang menyerang otak telah melumpuhkan sebagian memorinya. Tapi, kepergian budayawan dan intelektual Muslim yang rendah hati ini untuk selama-lamanya, pada Selasa sore, 22 Februari 2005, tetap dirasa menyentak oleh orang-orang yang mengenal dan mengaguminya.

Bait-bait yang dinukil dari salah satu kumpulan sajaknya, Isyarat (1976), di awal tulisan ini seakan bergema kembali. Adakah Mas Kunto --begitulah banyak orang biasa memanggilnya-- telah naik kereta cahaya (nur) untuk menggapai langit Ilahi? Sementara bumi sudah menantinya. "Adakah duka juga dikuburkan/ Atau kembali jadi merpati/ Sesudah kausembayangkan?" Begitulah bunyi bait sajaknya yang lain.

Ada kebiasaan yang menonjol dalam masyarakat Indonesia. Dan, ini pernah dikhawatirkan oleh Prof. Benedict Anderson, bahwa di Indonesia orang sering mudah melupakan sang tokoh ketika sudah meninggal. Nama sang tokoh mungkin hanya tertulis di prasasti atau terpampang sebagai nama jalan. Bahkan kalaupun masyarakat umum dan generasi mudanya tahu nama sang tokoh, mereka kebanyakan tidak tahu buah pikirannya. Inilah fenomena yang menyedihkan di negeri ini.

Apakah buah pikiran Kuntowijoyo yang cemerlang dalam bidang sejarah, sastra, seni, agama, dan khususnya budaya itu juga akan mengalami "nasib" yang sama? Apakah "warisan" yang ditinggalkan oleh sejarawan yang lahir di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta pada 18 September 1943 --yang dikenal sebagai pemikir ilmu sosial profetik-- ini kepada kita?

Sosok teladan

Kita tahu sudah banyak karya dan penghargaan yang diraih Kuntowijoyo semasa hidupnya yang produktif, baik di dalam maupun luar negeri. Buku-bukunya menghiasi kepustakaan sejarah, budaya, dan khazanah Islam Indonesia. Bukunya, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991), misalnya, mungkin bisa dijadikan semacam "buku pegangan wajib" bagi para pemikir dan aktivis gerakan Islam di Indonesia.

Tapi, mungkin yang pertama-pertama, dari semua itu dia adalah sosok teladan. Kenangan terakhir --kalau boleh dibilang begitu-- saya dengan almarhum mengingatkan kekaguman akan keteladanannya sebagai guru yang membimbing. Nama besarnya tidak mengalahkan sikap rendah hatinya bahkan bagi anak muda yang baru belajar. Orang-orang yang kenal dekat dengan Kunto tentu tahu betul akan hal ini.

Sosoknya sebagai guru dan pembimbing yang tawadlu' membuat generasi seusia kami serasa menemukan kembali sosok panutan. Kesederhanaan hidupnya dan kebersahajaan tutur katanya menjadikannya cahaya di tengah tawaran gemerlap hidup dan arogansi kekuasaan politik, ekonomi, dan sebagian kalangan agamawan dan ilmuwan yang mungkin tak jarang mengklaim diri sebagai pendefinisi dan pemilik kebenaran.

Saya teringat kenangan kecil, pada pertengahan 2004, ketika saya meminta Mas Kunto memberi masukan dan pengantar untuk rencana penerbitan buku saya tentang Soedjatmoko. Saat itu---di tengah kondisi kesehatannya yang belum sepenuhnya membaik---Mas Kunto tetap dengan ketajaman pembacaannya sebagai seorang ilmuwan memberikan masukan yang amat berarti untuk rancangan buku saya yang mungkin tidak ada apa-apanya bagi ilmuwan sekaliber Beliau. Melalui putra sulungnya --Mas Punang Amaripuja-- sastrawan penulis Dilarang Mencintai Bunga-bunga ini memberikan catatan yang sangat berarti buat buku saya, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: Ruang Publik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko (2004). Bahkan tulisannya "Kebudayaan Indonesia Kontemporer" yang mencoba memosisikan pemikiran Soedjatmoko menjadi pengantar buku saya tersebut. Di situlah di antaranya terlihat kebesaran jiwanya dan sekaligus kerendahan hatinya sebagai pembimbing.

Butir-butir pemikiran

Selain sosok keteladanan itu, kita juga diwariskan dengan sejumlah karya Kunto yang penuh inspirasi, yang tampaknya lahir dari kontemplasi dan renungannya yang mendalam akan problem kebudayaan yang tidak hanya dihadapi oleh bangsanya, tapi juga oleh umat manusia. Sebagai penulis, Kunto bisa dibilang komunikator yang "jenius" dan istimewa. Ini terlihat dari kepiawaiannya meracik buah pikirannya dalam bentuk puisi, drama, novel, dan cerita pendek yang memungkinkan gagasannya mencapai khalayak yang lebih luas dan digemari. Tapi, sebagai ilmuwan, karya nonfiksinya juga tidak kalah menarik. Dia telah menghasilkan serangkaian artikel, esai, dan makalah yang biasanya kritis dan inspiratif bagi pembacanya. Sejumlah buku telah dihasilkannya baik berupa bunga rampai maupun karya utuh yang menunjukkan produktivitasnya dalam berkarya.

Tulisan yang sangat terbatas ini ingin mengangkat kembali beberapa pemikiran Kuntowijoyo yang penting dan amat mewarnai kepedulian intelektualnya. Pergumulan intelektualnya yang intens dengan kenyataan yang dihadapi bangsanya dan empatinya yang dalam atas masalah yang disorotnya, serta kesadarannya sebagai seorang Muslim yang bertakwa, menjadikan gagasan-gagasan Kunto tetap aktual hingga saat ini dan mungkin juga di masa nanti. Ada sejumlah butir pemikirannya yang mungkin hingga kini tetap relevan.

Pertama, krisis kebudayaan. Dalam sejumlah kesempatan Kunto sering berbicara tentang krisis kebudayaan, yang menurutnya sebagai kesenjangan antara kata dengan perbuatan, atau antara kesadaran dengan tindakan. Krisis itu menyangkut dimensi yang dalam, yakni kesadaran manusia. Krisis kebudayaan politik dan ekonomi di Indonesia sebagian bisa dijelaskan dengan logika ini. Korupsi terjadi karena adanya kesenjangan antara kesadaran dengan tindakan seorang pejabat. Begitupun agresivitas terjadi karena ada kesenjangan antara kesadaran dan perilaku para pelakunya.

Menurut Kunto, kita perlu mengembalikan kesadaran manusia. Sebuah gerakan kebudayaan yang mengolah dimensi kedalaman manusia (transendensi, pendidikan moral, pengembangan estetika) dalam jangka panjang diyakini akan dapat memulihkan kembali kesadaran itu.

Krisis kultural, menurut Kunto, mungkin juga sebagai akibat dari masuknya teknologi dalam kebudayaan. Ketika membahas masalah ini, Kunto mengutip Jacques Ellul (1954), yang menyebut masyarakat modern dengan technological society, yaitu masyarakat yang di dalamnya terdapat dominasi teknik. Dia mengkhawatirkan kalau-kalau teknologi membuat persekongkolan baru antara bisnis besar dan ahli teknik, atau antara modal dan ilmu. Kekaguman yang berlebihan pada teknologi dikhawatirkannya akan mengakibatkan kita gagal mengintegrasikan teknologi ke dalam ideologi sehingga teknologi yang mestinya menjadi rahmat bisa berubah menjadi laknat.

Selain itu, Kunto juga melihat krisis kultural dalam bentuk politisasi dan komersialisasi budaya. Politisasi dan komersialisasi berakibat buruk pada masyarakat. Komersialisasi budaya, misalnya, menimbulkan pembodohan dan dehumanisasi. Kapan kesadaran kritis masyarakat akan muncul untuk membangun masyarakat madani kalau setiap hari hanya disuguhi media massa porno, televisi konyol yang penuh gosip, takhayul dan kekerasan, musik cengeng, atau goyang pantat penuh berahi, yang membuat masyarakat kecanduan tontonan yang dekaden?

Kedua, krisis keteladanan. Kunto juga berkali-kali mengingatkan bahwa bangsa kita sedang mengalami krisis keteladanan. Yakni, sirnanya tokoh-tokoh anutan yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam berperilaku dan bertindak. Di tengah arus pragmatisme kebudayaan, ikhlas telah digantikan oleh sikap pamrih, altruisme digantikan oleh individualisme. Orang kehilangan teladan karena yang dahulu pahlawan sekarang bisa berubah menjadi pengkhianat; sebaliknya, yang dahulu pengkhianat dapat berubah menjadi pahlawan. Yang dahulu pejuang bisa tetap tidak punya apa-apa: tidak kekuasaan, tidak kekayaan, tidak juga kehormatan.

Pada saat yang sama, kita juga sedang mengalami krisis nilai, pengalaman, dan kebijakan. Semua yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan pribadi akan dianggap sia-sia. Kejujuran seorang pejabat dapat dianggap sebagai kebodohan. Kesederhanaan dianggap sebagai kemewahan yang tak terjangkau. Orang senang hidup dalam alam ilusi dan gaya hidup serba-simbol. Untuk sukses dalam kehidupan dan "budaya serba-instan" ini, perjuangan dan kerja keras tidak ada artinya.

Sementara gelombang pascamodernisme juga ditandai budaya baru, seperti informasi canggih, internet, telefon genggam, bisnis multinasional, fashion internasional, makanan organis, pengetahuan global, kompetisi antarbangsa, budaya metropolitan, budaya mal, dan budaya dapur internasional. Tetapi di tengah yang serbainternasional itu, di Indonesia juga terdapat pengangguran, petani, desa, kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Di tengah potret dunia kehidupan yang kontradiktif ini, Kunto lantas mengingatkan pentingnya pendidikan nilai atau moral. Salah satu aspek pendidikan moral ialah perlunya identifikasi diri dalam mengembangkan konsep baik dan buruk. Tapi dengan adanya anomi (tidak adanya norma, kekacauan nilai, perasaan tidak percaya pada nilai) selama tiga dasawarsa di bawah Orde Baru kita telah kehilangan begitu banyak teladan (exemplary center). "Generasi muda sudah menjadi yatim piatu, menghadapi dunia sendirian, tanpa contoh dari orang tua. Seolah-olah dia dilemparkan ke dunia asing. Jangan heran kalau mereka menjadi pemberang yang agresif.... Mereka tidak sadar bahwa perilaku mereka merugikan orang lain," demikian Kuntowijoyo.

Inilah yang sungguh-sungguh dalam krisis. Tidak ada anutan, tidak ada teladan, kita kehilangan exemplary center. "Setiap agama punya nabi, yang menjadi contoh konkret dari agama itu, tetapi Pancasila tidak. Selalu ada kontradiksi antara moralitas personal dan moralitas publik," demikian Kunto. Padahal saat ini yang kita butuhkan adalah contoh keteladanan, sebuah exemplary center, tempat orang dapat berkaca, tempat orang dapat mengukur dirinya.

Ketiga, keluar dari alam pikiran mitos. Kuntowijoyo berkali-kali mengingatkan perlunya demitologisasi alam pikiran kita dalam memandang sejarah dan realitas masa lalu dan realitas kontemporer. Menurut Kunto, mereka yang hidup dalam mitos tak akan bisa menangani realitas. Akar permasalahannya terletak dalam cara berpikir kita sebagai bangsa. "Kesadaran kita ada pada masa kini, tetapi bawah-sadar kita ada pada masa lampau. Sebagai bangsa kita menderita penyakit schizophrenia, jiwa yang terbelah. Kalau masih demikian, negara rasional tidak akan terbentuk," demikian Kuntowijoyo menandaskan dalam Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002).

Sebagai sejarawan, Kunto menyadari betul bahwa sejarah akan dan harus bersikap kritis kepada mitos dan gejala mitologisasi. Analisis sejarah yang rasional dan faktual terhadap mitos dan mitologisasi memungkinkan sejarawan tidak menjadi partisan dan partisipan, tetapi mampu melihat dari suatu jarak. Di tangan Kunto, tokoh-tokoh sejarah tetap menjadi manusia biasa, jauh dari dimitoskan sebagai makhluk supernatural.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah di UGM, pada 21 Juli 2001, Kuntowijyo tampak mempertajam apa yang sudah dikemukakannya pada 1985, dalam karyanya Dinamika Sejarah Umat Islam. Dalam pidato bertajuk "Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi, Ilmu" --yang dibacakan oleh istrinya, Dra. Hj. Susilaningsih, M.A.-- tersebut, Kunto kembali menyitir gagasan mitos dari Roland Barthes dalam karyanya yang terkenal, Mythologies (1989), yang tetap aktual hingga kini.

Dalam kesempatan itu, Kunto menyebutkan bahwa di Indonesia hidup mitos lama, mitos baru, dan mitos kontemporer. Mitos lama, kebanyakan berupa legitimasi, misalnya "raja adalah titisan dewa". Penjajah menambah mitos "pribumi yang malas". Mitos baru, biasanya berupa mitos politik, misalnya "gemah ripah loh jinawi karto raharjo", "Indonesia dijajah 350 tahun", "Pancasila Sakti", dan lain-lain. Mitos kontemporer, kebanyakan bersifat komersial, seperti "keperkasaan pria", "kecantikan wanita", "kelangsingan atau kebugaran tubuh". Komersialisasi mitos kontemporer kebanyakan terjadi setelah muncul budaya massa dengan dukungan iklan dan media massa, khususnya via televisi.

Kunto pernah mengatakan bahwa ia beruntung karena lahir di tengah-tengah keluarga yang secara tak sadar mengajarinya sejarah, sehingga sejarah sudah mendarah-daging pada dirinya. Karenanya, "Saya belajar untuk percaya pada sejarah dan menolak mitos, tentang kausalitas sejarah, dan tentang mobilitas sosial," katanya.

Keempat, demokrasi kebudayaan. Kunto juga banyak berbicara tentang pentingnya demokrasi budaya, di samping demokrasi ekonomi dan politik. Dia mengkhawatirkan mengenai gejala "refeodalisasi" atau "feodalisme baru" yang menyebabkan simbol-simbol kebudayaan sering dipakai sebagai sarana dominasi dari status yang lebih tinggi dengan sanksi mitos. Dia juga mencemaskan kemungkinan akan tertutupnya sarana mobilitas sosial. Bukankah kini sekolah-sekolah kian mahal dan eksklusif sehingga semakin menutup peluang bagi kalangan masyarakat bawah. Di sini komersialisasi pendidikan sama berbahayanya dengan indoktrinasi dalam pendidikan. Komersialisasi dunia pendidikan berakibat pembodohan dan kemiskinan. Ini, menurut Kunto, menunjukkan bahwa ada proses "refeodalisasi" dan demokrasi kebudayaan mengalami kemunduran.

Demokrasi kebudayaan justru berusaha supaya setiap warga negara punya akses yang sama terhadap sumber-sumber kebudayaan, seperti akses terhadap pendidikan. Kunto mengingatkan, kebudayaan itu bersifat unik dan partikular, sementara agama, teknologi, ilmu, dan olah raga itu bersifar universal. Karena itu, demokrasi kebudayaan harus hati-hati jangan sampai demokrasi menyebabkan hilangnya kepribadian. Jangan sampai demokrasi berarti anarki.

Kelima, Rekayasa atau Strategi Kebudayaan. Kuntowijoyo pernah mengatakan, "Rekayasa adalah doa kolektif yang tak diucapkan tetapi dikerjakan." Budaya sebagai determinan pembaruan politik memerlukan rekayasa sistem pengetahuan. Persoalannya, bagaimana rekayasa itu tidak dirasakan sebagai "rekayasa". Untuk itu, menurut Kunto, cara-cara budaya perlu ditempuh. Artinya, para pembaru politik harus bergerak lewat perubahan sistem simbol, tidak melalui kekuasaan politik. Berpolitik harus berdasarkan kesadaran, tidak berdasarkan paksaan. Paksaan adalah cara yang tidak-berbudaya. Dalam gerakan budaya menuju sistem politik yang rasional itulah kaum intelektual dapat berperan.

Budaya ialah simbol dan nilai yang memengaruhi perilaku. Maka, menurut Kunto, ibarat laut, riak, gelombang, dan pasang-surutnya yang dipengaruhi oleh angin, bulan, dan matahari itu adalah politik. Adapun air, substansinya, adalah budaya. "Strategi pengembangan budaya artinya merekayasa air, bukan pasang-surutnya. Merekayasa substansi, bukan tandanya. Merekayasa akar-penyebab, bukan gejalanya," demikian ujar Kunto. Tak heran kalau Kunto tidak hanya berbicara tentang masalah politik sehari-hari yang tampak di permukaan saja, tetapi ia justru menukik ke arus yang lebih dalam, yang diam-diam bekerja di bawah permukaan, yaitu masalah budaya.

Bagaimanapun, menurut Kunto, rekayasa kebudayaan berbeda dengan rekayasa teknologi, atau sosial, atau politik. Perbedaan itu terletak pada sifat kebudayaan yang tak dapat dipaksakan. "Karena itu," menurut Kunto dalam Identitas Politik Umat Islam (1997), "rekayasa kebudayaan hanya mungkin melalui 'rekayasa kesadaran' akan kepribadian bangsa. Simbol hanya dapat 'direkayasa' dengan simbol." Dengan kata lain, kebudayaan itu mempunyai dinamikanya sendiri.

Untuk itu, dalam pandangan Kunto, kebanggaan terhadap bangsa, budaya, dan produk nasional perlu disosialisasikan sejak dini. Pendidikan di tingkat bawah perlu padat dengan muatan lokal. "Rekayasa" budaya harus terasa wajar, tidak dipaksakan. "Rekayasa kebudayaan dibenarkan, asal menghasilkan warga negara yang kritis, sedangkan rekayasa yang hanya menghasilkan sikap budaya afirmatif harus ditolak," demikian tulis Kunto.

Keenam, peran kaum intelektual. Peran yang harus dimainkan intelektual dalam masyarakatnya adalah salah satu isu yang menjadi kepedulian Kunto. Secara intelektual, kontribusinya di sini cukup jelas. Ia tidak bosan berbicara tentang gerakan intelektual dan peran intelektual Muslim. "Intelektual," demikian Kunto mengingatkan, "menggunakan ilmunya sebagai kritik sosial. Maka loyalitas tertinggi intelektual ialah pada masa depan bangsa, tidak pada elite (kekuasaan, bisnis) dan massa (budaya, voting behavior)."

Dalam pandangan Kunto, kaum intelektual Muslim paling tidak harus bisa berperan dalam dua hal: Pertama, dalam hal manajemen yang rasional; dan Kedua, membantu umat dalam perang gagasan, intellectual war. "Kita sedang menghadapi 'perang', ghazwul fikr atau intellectual aggression. 'Musuh' kita ialah materialisme dan sekularisme dunia modern. Tugas intelektual Muslim ialah berjihad intelektual," demikian Kunto pernah menganjurkan. Menurutnya, seorang intelektual adalah pewaris Nabi. Karenanya seorang intelektual Muslim tidak boleh berpangku tangan, sementara dunia akan tenggelam.

Ketujuh, visi profetik. Mungkin gagasan Kunto yang paling terkenal adalah pemikirannya tentang Ilmu Sosial Profetik. Menurut keyakinan Kunto, krisis ilmu sosial sekarang ini tidak bisa diatasi hanya dengan penolakan-penolakan tetapi dengan mengubah komitmennya, yaitu pada masyarakat yang konkret, dan kaidahnya, yaitu profetisme.

Demikianlah dalam pandangan Kunto, Ilmu Sosial Profetik harus punya perhatian utama. Perhatian utama itu ialah emansipasi umat, yang konkret dan historis, dengan mengaitkannya dengan problem-problem aktual yang dihadapi umat. Problem sekarang ialah bagaimana mengantarkan umat dalam transformasi menuju masyarakat industrial, masyarakat sipil, ekonomi yang tanpa-eksploitasi, masyarakat demokratis, negara rasional, dan budaya yang manusiawi.

Sebagai sejarawan yang berusaha melihat ke depan, dan sebagai pribadi yang beriman kepada Al-Quran, Kunto percaya kepada ilmu dan bukan kepada politik. Ini terlihat pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar, Kunto menggunakan semboyan Knowledge is Power yang berasal dari Michel Foucault. Dia lantas menyitir QS Al-Mujadalah, ayat 11, yang menyebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. "Sebaliknya," menurut Kunto, "tidak satu pun ayat menyebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang berkuasa."

Pernyataannya di hari yang bersejarah bagi kariernya itu menunjukkan komitmennya kepada ilmu, bukan kepada kekuasaan. Ilmulah yang bisa mengangkat derajat makhluk di hadapan Khaliknya. Di sinilah tampak sekali posisinya sebagai seorang budayawan profetik. Sebagaimana pernah dikatakannya, "Kebudayaan Islam adalah budaya profetik yang unsurnya ada tiga (Q.S. Ali Imran, ayat 110), yaitu humanisasi (amar makruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu'minuna billah)."

Dalam keyakinan Kunto, ilmu, seni, sastra, dan politik harus membawa misi profetik (tugas kenabian) ini untuk mengemansipasi manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk Ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia. Itulah sebabnya dia memandang kebudayaan sebagai fitrah manusia.

Ketika berbicara tentang Visi Ilmu Sosial Profetik, Kunto menyitir Q.S. Al-Shaffat, ayat 6, "Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan bintang-bintang." Di situ jelas disebutkan bahwa langit telah dihias dengan bintang-bintang. Kunto mengaitkan ayat ini dengan fenomena agama dan budaya. Menurutnya, langit itu ibarat agama dan hiasan berupa bintang itu adalah kebudayaan.

Kuntowijoyo kini telah pergi. Kepergiannya serasa begitu cepat. Kita tidak tahu, setelah obituari ditulis, setelah semerbak bunga ditaburkan di pusaranya, apakah namanya, buah pikirannya akan dikenang oleh generasi sesudahnya? Masih banyak buah pikirannya yang perlu diapresiasi dan dijadikan "PR" buat kita semua, khususnya generasi muda. Sebuah syair Arab seakan berkelebat, "Al-mautu jahrun habibi wal habib". Kematian adalah jembatan antara Si Pencinta dengan Kekasih. Adakah kini dia telah melalui jembatan itu? Lantas apakah dia telah berhasil mencapai nur, dalam menapaki perjalanan singkat kehidupan ini untuk menggapai langit Ilahiah? Kita semua tertunduk dan hanya bisa berucap: Selamat jalan Pak Kunto! Semoga amal ibadahmu diterima Allah SWT dan kesalahanmu diampuni-Nya. Amin.***

Penulis, Dosen luar biasa Jurusan Manajemen Komunikasi, Fikom Unisba, editor dua buku karya Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (2001) dan Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002).